Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia telah kehilangan jutaan hektare hutan yang menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati dan masyarakat adat. Laporan dari Global Forest Watch menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan lebih dari 10,5 juta hektare hutan dari tahun 2002 hingga 2023, menjadikannya salah satu negara dengan laju deforestasi tertinggi di dunia. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk menekan angka deforestasi, praktik pembukaan lahan secara ilegal dan ekspansi perkebunan masih terus berlangsung. Mengapa deforestasi ini sulit dihentikan, dan adakah harapan untuk masa depan hutan Indonesia?
Deforestasi di Indonesia merupakan isu yang kompleks, melibatkan berbagai kepentingan mulai dari perusahaan hingga masyarakat lokal. Dampaknya sangat luas, mempengaruhi iklim global, merusak ekosistem, serta kehidupan sosial-ekonomi masyarakat adat yang bergantung pada hutan. Dengan memahami akar penyebab dan dampak deforestasi, menjadi langkah awal untuk membangun solusi bersama yang membutuhkan kolaborasi lintas sektor
.
Indonesia memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan Kongo, yang mencakup sekitar 59% daratan dan merupakan 10% dari total luas hutan dunia, atau sekitar 126 juta hektare (Ha) (sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Namun, dalam kurun 50 tahun terakhir, Indonesia telah kehilangan lebih dari 500.000 km persegi hutan. Dalam periode Juli 2021 hingga Juni 2022 saja, Indonesia kehilangan lebih dari 1.000 km persegi hutan, yang luasnya setara dengan dua pertiga wilayah London (sumber: Climate Impacts Tracker Asia).
Bacajuga
https://www.lintaspasundannews.com/2024/10/pemberian-tambahan-tunjangan.html
Penyebab utama deforestasi di Indonesia meliputi alih fungsi lahan untuk perkebunan kelapa sawit, penebangan liar, dan pembukaan lahan untuk pertambangan. Data tahun 2022 menunjukkan bahwa luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai sekitar 15,34 juta hektare (sumber: Palmoilmagazine.com). Menurut WWF, ekspansi kelapa sawit kerap mengabaikan hak masyarakat lokal dan memperburuk kerusakan lingkungan. Ini menyebabkan hilangnya habitat spesies endemik seperti harimau Sumatra, badak Jawa, gajah Sumatra, dan orangutan, yang berada di ambang kepunahan. Berdasarkan data International Union for Conservation of Nature (IUCN), jumlah spesies yang terancam punah di Indonesia meningkat dari 42.108 pada tahun 2022 menjadi 44.016 pada tahun 2023 (sumber: IUCN).
Selain berdampak pada keanekaragaman hayati, deforestasi juga berkontribusi signifikan terhadap pemanasan global. Penebangan hutan melepaskan karbon yang tersimpan dalam tanah dan vegetasi. Menurut studi dari EOS Data Analytics, deforestasi menyumbang hingga 11% dari total emisi gas rumah kaca tahunan dunia, setara dengan seluruh emisi kendaraan global. Ini menggarisbawahi dampak besar deforestasi terhadap perubahan iklim.
Untuk menekan laju deforestasi, pemerintah Indonesia telah mengupayakan beberapa kebijakan. Salah satunya adalah moratorium izin baru di hutan primer dan lahan gambut serta program restorasi ekosistem. Pada tahun 2019, pemerintah meluncurkan program restorasi ekosistem dengan target pemulihan 2,6 juta hektare hutan yang terdegradasi pada tahun 2030. Hingga 2023, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melaporkan telah berhasil merestorasi 5,5 juta hektare lahan gambut, termasuk 3,9 juta hektare di wilayah konsesi (sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Meskipun ada kemajuan, implementasi di lapangan masih menghadapi tantangan seperti lemahnya penegakan hukum dan kurangnya koordinasi antar lembaga, sehingga hasilnya kurang optimal.
Deforestasi juga membawa dampak serius terhadap masyarakat adat, yang kehilangan hak ulayat dan akses ke lahan akibat konflik dengan perusahaan. Di Kalimantan dan Papua, banyak masyarakat yang terpaksa mengungsi atau mengalami pemiskinan karena kehilangan mata pencaharian akibat konflik lahan. Berdasarkan data Human Rights Watch, tercatat lebih dari 650 konflik terkait lahan yang memengaruhi lebih dari 650.000 rumah tangga terdeteksi pada tahun 2017, dan sekitar 410 konflik yang memengaruhi 87.568 rumah tangga pada tahun 2018.
Laporan dari Human Rights Watch yang berjudul “Kehilangan Hutan Berarti Kehilangan Segalanya” menyoroti lemahnya penegakan hukum dan pengawasan terhadap hak-hak masyarakat adat, terutama di Kalimantan Barat dan Jambi. Banyak regulasi yang tidak konsisten dan perusahaan perkebunan kelapa sawit sering kali gagal memenuhi standar hak asasi manusia. Penegakan hukum yang lemah memungkinkan berbagai pelanggaran terjadi tanpa sanksi yang tegas, sehingga praktik ilegal seperti penguasaan lahan secara paksa terus berlanjut (sumber: Human Rights Watch).
Bacajuga
https://www.lintaspasundannews.com/2024/10/waka-polres-tasikmalaya-kota-didampingi.html
Untuk menghadapi krisis deforestasi ini, pendekatan yang lebih terintegrasi dan berkelanjutan perlu diterapkan. Semua pihak, baik pemerintah, perusahaan, masyarakat, maupun lembaga internasional, harus bekerja sama untuk melindungi hutan Indonesia. Pemerintah perlu memperkuat pengawasan dan penegakan hukum agar pelanggar lingkungan mendapatkan sanksi yang tegas. Sedangkan perusahaan/industri harus menerapkan praktik yang ramah lingkungan dan mempertimbangkan keberlanjutan sebagai bagian dari tanggung jawab sosial mereka.
Kesadaran masyarakat juga sangat penting. Konsumsi produk yang lebih berkelanjutan dan dukungan terhadap perusahaan yang peduli lingkungan dapat menjadi langkah kecil yang berkontribusi besar dan dapat membantu melestarikan hutan Indonesia. Inisiatif masyarakat, seperti program agroforestri dan reboisasi berbasis komunitas, dapat membantu memperbaiki ekosistem yang rusak. Jika semua pihak bersatu, masa depan hutan Indonesia akan lebih cerah dan layak untuk dijaga demi generasi mendatang.
Tim