Snouck Hurgronje: Sosok di Balik Runtuhnya Kerajaan Aceh Darussalam "Penulis: Acep Sutrisna, Analis Kebijakan Publik Tasik Utara

Lintaspasundan com“Secara lahiriah saya adalah seorang Muslim,” kata Christiaan Snouck Hurgronje, orientalis Belanda yang menyamar sebagai Haji Abdul Ghaffar. Di balik wajah ramah dan jubah keislaman yang dikenakannya, tersembunyi agenda kolonial yang mengguncang fondasi Kerajaan Aceh Darussalam. Ia bukan sekadar sarjana; ia adalah arsitek strategi Belanda yang memecah belah masyarakat Aceh, memanfaatkan kepercayaan dan budaya untuk meruntuhkan salah satu benteng terkuat perlawanan di Nusantara. Siapa sebenarnya Snouck Hurgronje, dan bagaimana penyamarannya sebagai Muslim menjadi senjata ampuh kolonialisme?


Perang Aceh (1873–1914) adalah salah satu perlawanan terlama dan terberat yang dihadapi Belanda di Nusantara. Aceh, dengan semangat jihad dan solidaritas keislamannya, menjadi duri dalam daging bagi ambisi kolonial. Di tengah kebuntuan militer, Snouck Hurgronje muncul sebagai sosok yang mengubah arah pertempuran—bukan dengan pedang, tetapi dengan pena, observasi, dan manipulasi sosial-budaya. Artikel ini mengupas peran kontroversial Snouck dalam keruntuhan Kesultanan Aceh, mengungkap bagaimana ia mengeksploitasi identitas Muslim untuk melemahkan perlawanan rakyat.


Snouck Hurgronje: Dari Leiden ke Mekah


Lahir pada 8 Februari 1857 di Oosterhout, Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje adalah anak seorang pendeta Protestan yang taat. Namun, di Universitas Leiden, ia terpapar pemikiran liberal yang menempatkan peradaban Barat sebagai puncak evolusi budaya. Minatnya pada studi oriental membawanya mempelajari bahasa Arab, budaya Timur, dan Islam secara mendalam. Pada 1885, dengan dukungan gubernur Ottoman di Jeddah, Snouck berhasil memasuki Mekah—sesuatu yang langka bagi non-Muslim pada masa itu. Di sana, ia belajar dari ulama, memperdalam pemahaman tentang ritual Islam, dan menjalin hubungan dengan jemaah haji dari Nusantara, termasuk dari Aceh.


Di Mekah, Snouck tampil sebagai Abdul Ghaffar, seorang haji yang fasih berbahasa Arab dan memahami ajaran Islam. Banyak yang mempercayainya sebagai Muslim sejati, namun di balik itu, ia mengumpulkan informasi strategis tentang dinamika sosial dan politik umat Islam. Pengalaman ini menjadi modal utama ketika ia tiba di Hindia Belanda pada 1889, diutus untuk meneliti pendidikan Islam dan menjadi penasihat urusan pribumi.


Penyamarannya di Aceh: Haji Abdul Ghaffar di Tengah Perang


Pada Juli 1891, Snouck Hurgronje tiba di Aceh, wilayah yang telah menguras kekuatan Belanda selama hampir dua dekade. Perang Aceh bukan hanya soal pertempuran fisik; ini adalah perang ideologi, di mana semangat jihad mengobarkan perlawanan rakyat. Dengan nama samaran Haji Abdul Ghaffar, Snouck menyusup ke masyarakat Aceh, tinggal di Kuta Raja, dan membaur dengan ulama serta tokoh adat. Ia fasih berbahasa Aceh dan Melayu, memahami adat istiadat, dan bahkan menikahi putri bangsawan pribumi untuk memperkuat posisinya.


Selama tujuh bulan di Aceh, Snouck melakukan pengamatan mendalam. Ia mencatat kebiasaan masyarakat, struktur kekuasaan, dan peran ulama dalam memobilisasi perlawanan. Dalam laporannya, Atjeh Verslag (1892), ia mengungkapkan bahwa kekuatan Aceh tidak terletak pada sultan, melainkan pada ulama yang menggerakkan rakyat melalui doktrin jihad. Ia juga menemukan bahwa solidaritas sosial Aceh berpijak pada Islam, adat, dan hikayat perjuangan seperti Hikayat Prang Sabil.


Namun, Snouck bukan sekadar pengamat. Ia menjalankan taktik divide et impera—memecah belah masyarakat Aceh dengan memanfaatkan celah-celah sosial. Ia mendekati ulama tertentu, mendorong fatwa yang memisahkan agama dari politik, dan menggandeng uleebalang (bangsawan lokal) untuk melemahkan solidaritas rakyat. Dengan kata-kata manis dan penampilan sebagai Muslim, Snouck membangun kepercayaan, tetapi di balik itu, ia merancang strategi yang menghancurkan.


Strategi Sosial-Budaya: Memisahkan Islam dari Politik


Snouck Hurgronje memahami bahwa Islam adalah tulang punggung perlawanan Aceh. Dalam pandangannya, Islam harus dipisahkan menjadi dua: Islam sebagai ibadah, yang tidak berbahaya, dan Islam sebagai doktrin politik, yang harus diberantas. Dalam bukunya De Atjeher (1893–1894), ia menegaskan bahwa fanatisme politik dalam Islam adalah ancaman utama bagi kolonialisme. Untuk itu, ia mengusulkan pendekatan lunak terhadap praktik keagamaan, tetapi keras terhadap gerakan politik berbasis Islam.

Bacajuga

https://www.lintaspasundan.com/2025/04/skandal-psu-pilkada-tasikmalaya-2025.html

Salah satu strateginya adalah melemahkan pengaruh ulama. Snouck menyarankan Belanda untuk tidak menyerang masjid atau mengganggu ibadah, tetapi fokus pada menumpas ulama radikal yang mengobarkan jihad. Ia juga mendorong pendidikan ala Barat untuk menciptakan elite pribumi yang lebih terasosiasi dengan budaya Eropa, sehingga mengurangi pengaruh Islam tradisional. Konsepnya, yang dikenal sebagai Splitsingstheori, memisahkan aspek keagamaan, sosial, dan politik dalam kehidupan Muslim, sebuah pendekatan yang bertentangan dengan pandangan Islam yang holistik.


Snouck juga memanfaatkan hikayat dan budaya lisan Aceh. Ia mencatat bahwa syair-syair jihad dalam hikayat memperkuat semangat perlawanan. Untuk melawannya, ia mengusulkan propaganda yang melemahkan narasi heroik Aceh, sekaligus mempromosikan narasi kolonial sebagai “pembawa peradaban.” Strategi ini terbukti efektif ketika beberapa uleebalang mulai bersekutu dengan Belanda, memecah front perlawanan.


Dampak Strategi Snouck: Runtuhnya Kesultanan Aceh


Pada 1898, Snouck menjadi penasihat utama J.B. van Heutsz, gubernur militer Aceh. Kombinasi strategi Snouck dan pendekatan militer Van Heutsz membawa hasil. Belanda melancarkan serangan terkoordinasi terhadap basis-basis gerilya, sambil memanfaatkan intelijen Snouck untuk menargetkan ulama dan tokoh kunci. Pada 1903, Sultan Muhammad Daud Syah menyerah, menandai runtuhnya Kesultanan Aceh secara formal. Meski perlawanan rakyat berlanjut hingga 1914, fondasi kekuatan Aceh telah retak.


Namun, Snouck sendiri menyadari bahwa kemenangan militer tidak menyelesaikan masalah. Ia memperingatkan bahwa penaklukan bersenjata justru memicu kebencian rakyat, sebuah fakta yang terbukti dengan perlawanan sporadis pasca-1903. Ia mengusulkan kebijakan praktis untuk meredam amarah rakyat, seperti pembangunan infrastruktur dan pendidikan, tetapi visinya tentang administrasi “etis” tidak sepenuhnya diadopsi oleh Van Heutsz, yang lebih mengutamakan pendekatan militer.


Keberhasilan Snouck tidak lepas dari penyamarannya sebagai Muslim. Dengan memanfaatkan identitas Haji Abdul Ghaffar, ia mendapatkan akses ke lapisan masyarakat yang sulit dijangkau Belanda. Namun, ini pula yang membuatnya kontroversial. Bagi banyak orang Aceh, Snouck adalah pengkhianat, seorang “musuh dalam selimut” yang menyalahgunakan kepercayaan umat.


Kontroversi dan Warisan Snouck Hurgronje


Snouck Hurgronje adalah paradoks. Di satu sisi, ia adalah sarjana brillian yang menghasilkan karya monumental seperti Mekka in the Latter Part of the 19th Century dan The Achehnese, memberikan wawasan mendalam tentang Islam dan budaya Aceh. Di sisi lain, ia adalah pelayan kolonial yang menggunakan pengetahuannya untuk menundukkan rakyat. Karyanya menjadi pedang bermata dua: dihargai sebagai karya akademik, tetapi dikutuk karena perannya dalam imperialisme.


Kritik terhadap Snouck tidak hanya datang dari Indonesia. Di Belanda, pernikahannya dengan wanita pribumi dan penyamarannya sebagai Muslim menuai kontroversi. Namun, Snouck membela tindakannya sebagai “kebutuhan ilmiah,” sebuah alasan yang mencerminkan pragmatismenya. Hingga kematiannya pada 1936, ia tetap menjadi penasihat urusan kolonial dan guru besar di Universitas Leiden, meninggalkan warisan yang masih diperdebatkan hingga kini.


Bagi masyarakat Aceh, Snouck adalah simbol kelicikan kolonial. Strateginya tidak hanya meruntuhkan Kesultanan Aceh, tetapi juga meninggalkan luka sosial yang mendalam. Pecahnya solidaritas antara ulama dan uleebalang melemahkan struktur masyarakat Aceh, efek yang terasa hingga masa pasca-kolonial. Namun, perlawanan Aceh yang gigih juga menunjukkan bahwa semangat rakyat tidak pernah sepenuhnya padam, bahkan di hadapan strategi Snouck yang cerdik.


Refleksi: Pelajaran dari Snouck Hurgronje


Kisah Snouck Hurgronje adalah cerminan kompleksitas kolonialisme. Ia mengajarkan bahwa kekuatan penjajahan tidak selalu terletak pada senjata, tetapi juga pada pemahaman dan manipulasi budaya. Penyamarannya sebagai Muslim menunjukkan betapa jauh seorang kolonialis bersedia melangkah untuk mencapai tujuan. Namun, ia juga mengingatkan kita akan kekuatan budaya lokal—meski terluka, Aceh tetap menjadi simbol perlawanan.


Hari ini, ketika kita merenungkan sejarah Aceh, peran Snouck Hurgronje mengundang kita untuk mempertanyakan narasi resmi dan menyelami sisi tersembunyi dari kolonialisme. Bagaimana identitas keagamaan dan budaya dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan? Dan bagaimana kita, sebagai bangsa, bisa belajar dari masa lalu untuk membangun identitas yang lebih kuat dan bersatu?


Snouck Hurgronje mungkin telah berhasil meruntuhkan Kesultanan Aceh, tetapi semangat perlawanan rakyat Aceh terus hidup dalam hikayat, doa, dan ingatan kolektif bangsa. Dialah sosok yang mengingatkan kita: di balik setiap kemenangan kolonial, ada cerita ketangguhan yang tak pernah benar-benar kalah.



SINGAPARNA KABUPATEN TASIKMALAYA.

(06/05/2025).


IWAN SINGADINATA.

(KONTRIBUTOR BERITA(

#PUBLIK

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.