Pemimpin (Bupati) Dalam Menjalankan Roda Pemerintahan - Bila Memiliki Dendam Politik Terbuka (Rekonsiliasi Penting) "

 

Lintaspasundan news

SINGAPARNA KABUPATEN TASIKMALAYA.(19/09/2025). - Bilamana  bupati menjalankan kepemimpinan dengan dasar dendam secara terbuka, baik dari segi teori politik maupun kajian kepemimpinan, dampaknya dipandang sangat negatif oleh banyak ahli, baik dalam negeri maupun luar negeri. Berikut ringkasan menurut sudut pandang beberapa pemikiran:


Menurut Para Ahli Dalam Negeri & Luar Negeri.


I. Dalam.Negeri :


- Prof. Moh. Mahfud MD (ahli hukum dan politik): politik dendam akan menciptakan “hukum sebagai alat kekuasaan”, bukan “hukum sebagai alat keadilan”. Artinya, kebijakan publik bisa diarahkan untuk menghukum lawan politik, bukan untuk menyejahterakan rakyat.


- Prof. Miriam Budiardjo (ilmuwan politik UI): pemimpin yang membangun politik atas dasar balas dendam akan merusak sistem demokrasi karena “kontestasi politik berubah menjadi arena permusuhan, bukan kompetisi gagasan.”


- Syafi’i Ma’arif (cendekiawan): pemimpin yang memimpin dengan dendam kehilangan orientasi moral. Ia menilai bahwa kepemimpinan semacam itu “hanya menghasilkan lingkaran kebencian yang memperlemah bangsa sendiri.”


II. Luar Negeri

Bacajuga

https://www.lintaspasundan.com/2025/09/kadiv-humas-beri-motivasi-dan-pemahaman.html

- Niccolò Machiavelli (Italia, The Prince): meski Machiavelli terkenal dengan realisme politiknya, ia memperingatkan bahwa dendam terbuka merusak stabilitas. Pemimpin boleh tegas dan bahkan licik, tetapi bila dendam ditunjukkan terang-terangan, itu justru mempercepat kejatuhan karena mengundang perlawanan.


- Max Weber (sosiolog Jerman): kepemimpinan modern menuntut rational-legal authority. Jika dendam pribadi masuk ke dalam birokrasi, maka rasionalitas hancur, digantikan “patrimonialism” (kepentingan pribadi/kelompok).


- John Locke (filsuf Inggris): pemerintahan yang dijalankan atas dasar dendam kehilangan kontrak sosial dengan rakyat, karena kekuasaan seharusnya dijalankan untuk melindungi hak, bukan memperjuangkan sakit hati pribadi.


- Francis Fukuyama (ilmuwan politik AS): negara yang dipimpin dengan logika dendam akan gagal membangun trust sosial. Trust adalah modal utama bagi pertumbuhan ekonomi dan tata kelola pemerintahan yang baik.


II. Konsekuensi Praktis di Lapangan


Birokrasi lumpuh: pejabat-pejabat dipilih karena loyalitas balas dendam, bukan karena kompetensi.


Masyarakat terbelah: rakyat ikut terseret dalam konflik politik kepala daerah.


Pembangunan terhambat: energi dan anggaran habis untuk menyingkirkan lawan politik, bukan untuk program publik.


Legitimasi runtuh: rakyat akan kehilangan kepercayaan pada pemerintah daerah, sehingga  dalam politik dan pemerintahan, apalagi di tingkat daerah. Banyak ahli menekankan bahwa pembangunan tidak mungkin berkelanjutan jika konflik politik tidak diakhiri dengan rekonsiliasi.


Mengapa Rekonsiliasi Penting bagi Pembangunan?


1. Mengurangi Polarisasi Politik

Tanpa rekonsiliasi, masyarakat akan terus terbagi dalam kubu pro dan kontra. Energi sosial habis untuk konflik, bukan kolaborasi.


2. Menciptakan Stabilitas Pemerintahan

Menurut Francis Fukuyama, stabilitas politik adalah syarat utama pembangunan ekonomi. Rekonsiliasi membuat birokrasi bisa bekerja tenang tanpa takut tekanan politik dendam.


3. Mengembalikan Kepercayaan Publik

Rakyat lebih percaya pada pemimpin yang mau memaafkan lawan politiknya, karena itu menunjukkan orientasi ke masa depan, bukan masa lalu.


4. Mendorong Kolaborasi Multi-Pihak

Pembangunan daerah butuh dukungan DPRD, birokrasi, pengusaha, dan masyarakat sipil. Rekonsiliasi membuka pintu kerja sama lintas kelompok.


5. Efisiensi Anggaran

Konflik politik biasanya menyedot banyak biaya (misalnya untuk “balas budi politik”). Rekonsiliasi mengefisienkan penggunaan anggaran langsung ke program publik.


Sejarah mencatat :


Afrika Selatan – Nelson Mandela: setelah rezim apartheid, Mandela memilih rekonsiliasi nasional daripada balas dendam. Hasilnya, Afrika Selatan bisa masuk era demokrasi relatif damai.


Aceh – Indonesia: rekonsiliasi pasca MoU Helsinki (2005) antara pemerintah RI dan GAM membuka jalan pembangunan dan investasi di Aceh.


Pada Intinya: rekonsiliasi bukan berarti melupakan kesalahan, tapi memilih jalan damai demi tujuan yang lebih besar, yaitu pembangunan dan kesejahteraan rakyat.


Kesimpulan:

Baik ahli politik Indonesia maupun internasional sepakat bahwa kepemimpinan berbasis dendam terbuka adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Itu tidak hanya merugikan lawan politik, tetapi menghancurkan tatanan demokrasi, birokrasi, bahkan kohesi sosial.




IWAN SINGADINATA.

(KONTRIBUTOR BERITA DAERAH)

#KETUADPRDKABUPATENTASIKMALAYA

#BUPATITASIKMALAYA

#KESBANGPOLKABUPATENTASIKMALAYA

#KOMINDIGIKABUPATENTASIKMALAYA

#HUMASSETWAN,#HUMASSETDAKABUPATENTASIKMALAYA,#PUBLIK,#FYPVIRAL,#SOROTAN,#INDONESIANTOPOFTHEWORLD

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.