Lintaspasundan com
Menyingkap Fenomena KDM dalam Pusaran Politik dan Budaya Sunda
Dalam pusaran dinamika sosial politik di Jawa Barat, muncul satu sosok yang berhasil mencuri perhatian publik secara konsisten—baik di dunia nyata maupun jagat maya. Ia adalah Kang Dedi Mulyadi, atau yang kerap disebut dengan inisial KDM. Fenomena KDM tidak bisa dipandang sebagai sekadar popularitas seorang tokoh, tetapi sebagai manifestasi lebih dalam dari keresahan, harapan, serta romantisme masyarakat terhadap figur pemimpin yang membumi.
Siapa Kang Dedi Mulyadi dan Mengapa Ia Jadi Fenomena?
Kang Dedi Mulyadi adalah politisi asal Subang yang telah menjabat sebagai Bupati Purwakarta selama dua periode. Dalam perjalanannya, KDM dikenal karena gaya kepemimpinannya yang nyeleneh, penuh simbolisme budaya Sunda, dan dekat dengan masyarakat akar rumput. Ia tidak sekadar berbicara atas nama rakyat, tapi benar-benar hadir dalam kehidupan mereka—baik secara fisik maupun digital.
Fenomena KDM mulai meroket ketika ia aktif membagikan aktivitas kesehariannya lewat media sosial, terutama YouTube dan Facebook dan Tiktok. Kontennya yang konsisten memperlihatkan interaksi langsung dengan masyarakat kecil - dari nenek pemulung hingga anak-anak jalanan - menyentuh sisi emosional publik. Di tengah krisis kepercayaan terhadap elit politik, hadirnya KDM memberikan napas baru: seorang pemimpin yang tampak nyata, sederhana, namun berwibawa.
Strategi Komunikasi KDM: Memadukan Budaya dan Teknologi
Merawat Identitas Budaya Sunda
satu aspek paling mencolok dari Fenomena KDM adalah kemampuannya merawat, mengemas, dan mempopulerkan budaya Sunda dalam format yang kekinian. Ia tidak hanya menggunakan bahasa Sunda dalam pidato atau kontennya, tetapi juga mengenakan pakaian adat, membahas mitologi lokal, serta melestarikan tradisi yang hampir punah.
Dalam konteks ini, KDM tidak hanya berperan sebagai politisi, tetapi juga kurator budaya. Ia mengemas warisan lokal menjadi narasi yang bisa diterima oleh generasi milenial maupun generasi tua. Dengan demikian, budaya Sunda tidak hanya hidup sebagai ornamen, tetapi sebagai fondasi nilai yang membentuk cara pandang dan kebijakan.
Menguasai Lanskap Digital
Fenomena KDM juga memperlihatkan bagaimana kekuatan media sosial mampu membentuk citra politik baru. Ketika banyak politisi masih berkutat pada baliho dan iklan konvensional, KDM sudah jauh melangkah dengan membangun "personal branding" yang kuat lewat platform digital.
Namun, lebih dari sekadar branding, konten KDM mampu membangun ikatan emosional. Ia tidak menampilkan kemewahan atau formalitas kekuasaan, melainkan menampilkan sisi manusiawi dari seorang pemimpin - yang bisa duduk di saung, makan dengan tangan, dan mendengarkan keluhan rakyat kecil dengan sabar.
Bacajuga
https://www.lintaspasundan.com/2025/04/ayko-mikaila-arifin-dan-azfar-resky.html
Antara Populisme dan Politik Gagasan
Menjawab Kerinduan akan Pemimpin yang Merakyat
Dalam kacamata teori politik, Fenomena KDM bisa dikategorikan sebagai bentuk populisme. Namun, populisme yang dimaksud di sini bukanlah sekadar retorika kosong atau janji-janji bombastis. KDM membawa jenis populisme yang berpijak pada nilai-nilai lokal dan tindakan nyata.
Ia tidak menawarkan solusi instan, tetapi memperlihatkan empati dan aksi langsung di lapangan. Ini berbeda dengan politisi populis lain yang kerap mengeksploitasi emosi massa untuk keuntungan elektoral semata. KDM justru membuktikan bahwa pendekatan budaya bisa menjadi jembatan antara rakyat dan kebijakan.
Politik Gagasan: Membumi Tanpa Menggurui
Kekuatan lain dari Fenomena KDM adalah kemampuannya membumikan gagasan-gagasan besar dalam bahasa rakyat. Ketika berbicara soal reformasi birokrasi, misalnya, ia tidak menggunakan jargon teknokratik, melainkan mengajak pegawai untuk "ngabdi ka rakyat". Ketika bicara tentang ketahanan pangan, ia mencontohkannya dengan cara panen langsung di sawah.
Inilah bentuk politik gagasan yang sesungguhnya - ide yang tidak sekadar tercetak di naskah kebijakan, tetapi hidup dalam tindakan sehari-hari. Di sinilah letak perbedaan signifikan antara popularitas yang artifisial dan fenomena yang lahir dari keaslian.
Tantangan dan Kritik terhadap Fenomena KDM
Tak bisa dimungkiri, keberhasilan KDM juga mengundang kritik dan resistensi. Beberapa pihak menilai bahwa apa yang dilakukan KDM terlalu bersifat personal, bahkan cenderung mencampuradukkan urusan privat dan publik. Ada pula yang mempertanyakan sejauh mana efektivitas program-program yang diusungnya dalam konteks pembangunan jangka panjang.
Namun, di sisi lain, kritik ini justru menjadi bahan bakar untuk diskursus publik yang lebih sehat. Fenomena KDM membuka ruang bagi masyarakat untuk menilai ulang paradigma kepemimpinan: apakah kita butuh pemimpin yang serba teknokrat, atau justru pemimpin yang punya empati dan kedekatan dengan realitas rakyat?
Kesimpulan: KDM sebagai Cermin Perubahan Sosial
Fenomena KDM tidak sekadar menunjukkan bagaimana seorang politisi bisa menjadi ikon budaya, tetapi juga memperlihatkan dinamika baru dalam hubungan antara pemimpin dan rakyat. Ia bukan hanya menjawab kebutuhan akan figur populis, tetapi juga menunjukkan bahwa pendekatan humanis dan budaya bisa menjadi kekuatan politik yang berkelanjutan.
Dalam era digital dan krisis kepercayaan terhadap institusi, munculnya tokoh seperti KDM adalah tanda bahwa masyarakat tengah mencari bentuk kepemimpinan yang lebih otentik. Sebuah kepemimpinan yang tidak hanya hadir di ruang rapat, tetapi juga di tengah sawah, warung kopi, dan linimasa media sosial.
SINGAPARNA (01/05/2025).
IWAN SINGADINATA.
( KONTRIBUTOR BERITA DAERAH )
#SOROTAN,#PUBLIK