Tanah Negara Bukan Milik PemerintahMemahami Status Hukum dan Dampaknya "Penulis: Acep Sutrisna, Analis Kebijakan Publik Tasik Utara

Lintaspasundan com

Di Indonesia, istilah tanah negara sering disalahartikan sebagai tanah yang secara mutlak dikuasai atau dimiliki oleh pemerintah. Pemahaman yang keliru ini bukan hanya menyesatkan masyarakat, tetapi juga memicu konflik agraria, kebijakan yang tidak tepat, hingga penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan tanah. Faktanya, tanah negara bukan milik pemerintah, melainkan aset yang statusnya diatur secara khusus oleh hukum positif Indonesia, terutama dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Artikel ini akan mengupas tuntas perbedaan antara tanah negara dan tanah milik pemerintah, dasar hukumnya, serta dampaknya terhadap pengelolaan aset dan hak masyarakat.


Apa Itu Tanah Negara?


Tanah negara adalah tanah yang tidak memiliki hak keperdataan atas nama perorangan, badan hukum, atau entitas lain. Dalam Pasal 1 ayat (4) UUPA, tanah negara didefinisikan sebagai tanah yang tidak dibebani hak atas tanah tertentu. Artinya, tanah ini berada di bawah penguasaan langsung negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi, bukan pemerintah sebagai institusi pelaksana. Konsep ini merujuk pada hak menguasai dari negara (Hak Menguasai dari Negara atau HMN) yang diatur dalam Pasal 2 UUPA, di mana negara memiliki wewenang untuk mengatur, mengelola, dan mendistribusikan tanah demi sebesar-besar kemakmuran rakyat.


Namun, penting untuk digarisbawahi bahwa penguasaan bukan kepemilikan. Negara tidak “memiliki” tanah negara seperti halnya seseorang memiliki properti pribadi. Sebaliknya, negara bertindak sebagai pengelola yang diamanahkan untuk memastikan tanah tersebut digunakan sesuai dengan kepentingan umum, termasuk untuk kesejahteraan masyarakat.


Contoh Kasus: Konflik Agraria di Kalimantan Barat


Salah satu kasus yang mencerminkan kesalahpahaman tentang tanah negara adalah konflik antara masyarakat adat di Kalimantan Barat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit pada 2018. Masyarakat adat mengklaim tanah tersebut sebagai bagian dari wilayah ulayat mereka, sementara perusahaan mengantongi izin Hak Guna Usaha (HGU) dari pemerintah. Pemerintah daerah saat itu menganggap tanah tersebut sebagai tanah negara yang bebas untuk dialokasikan, tanpa mempertimbangkan hak ulayat masyarakat adat. Akibatnya, terjadi sengketa panjang yang merugikan masyarakat adat, baik secara ekonomi maupun budaya.


Kasus ini menunjukkan bahwa anggapan tanah negara sebagai “milik pemerintah” sering kali mengabaikan hak-hak masyarakat adat atau pengguna tanah lainnya, yang sebenarnya diakui dalam kerangka hukum agraria nasional.


Tanah Negara vs. Tanah Milik Pemerintah

Bacajuga

https://www.lintaspasundan.com/2025/04/bantuan-hibah-yayasan-al-ruzhan-harus.html

Untuk memahami perbedaan antara tanah negara dan tanah milik pemerintah, kita perlu melihat status hukum dan fungsinya:


1.Tanah Negara


·Status Hukum: Tanah yang tidak dibebani hak atas tanah (hak milik, HGU, hak pakai, dll.).


·Pengelolaan: Dikuasai oleh negara, tetapi dapat dialokasikan kepada perorangan, badan hukum, atau masyarakat adat melalui hak atas tanah seperti HGU, hak pakai, atau hak pengelolaan.


·Tujuan: Digunakan untuk kepentingan umum, termasuk redistribusi untuk reforma agraria, pembangunan infrastruktur, atau konservasi lingkungan.

·Contoh: Lahan kosong yang belum memiliki sertifikat hak, hutan negara yang belum dialokasikan, atau tanah bekas hak kolonial yang belum didaftarkan.


2.Tanah Milik Pemerintah


·Status Hukum: Tanah yang secara resmi didaftarkan sebagai aset milik pemerintah (baik pusat maupun daerah) dan dibebani hak pakai atau hak pengelolaan.


·Pengelolaan: Dikelola langsung oleh instansi pemerintah untuk keperluan dinas, seperti kantor pemerintahan, sekolah, atau rumah sakit.


· Tujuan: Mendukung fungsi pemerintahan dan pelayanan publik.


·Contoh: Lahan yang digunakan untuk kantor bupati, gedung DPRD, atau fasilitas TNI/Polri.


Perbedaan ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, yang menegaskan bahwa tanah milik pemerintah adalah bagian dari aset negara yang telah dialokasikan secara spesifik untuk keperluan instansi tertentu.


Mengapa Perbedaan Ini Penting?


Kesalahan dalam membedakan tanah negara dan tanah milik pemerintah dapat memicu masalah serius, seperti:


1.Konflik Agraria: Ketika pemerintah menganggap tanah negara sebagai “miliknya,” sering kali mengabaikan hak masyarakat adat atau petani yang telah mengelola tanah tersebut secara turun-temurun.


2.Korupsi Aset: Tanah negara yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan publik kadang disalahgunakan oleh oknum pejabat untuk kepentingan pribadi, seperti dijual atau dialihkan tanpa prosedur yang sah.


3.Kebijakan yang Tidak Adil: Misalnya, alokasi tanah negara untuk proyek-proyek besar tanpa melibatkan masyarakat lokal, yang sebenarnya berhak atas redistribusi tanah melalui program reforma agraria.


Dasar Hukum Pengelolaan Tanah Negara


Pengelolaan tanah negara di Indonesia diatur oleh sejumlah regulasi, dengan UUPA sebagai landasan utama. Berikut adalah beberapa dasar hukum yang relevan:


1.UUPA Pasal 2: Menegaskan bahwa negara memiliki hak menguasai tanah, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam di dalamnya, untuk kemakmuran rakyat.


2.Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah: Mengatur mekanisme pemberian hak atas tanah negara kepada pihak swasta atau masyarakat.


3.Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 2016: Mengatur tata cara pengelolaan tanah negara, termasuk pendaftaran dan redistribusi.


4.Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja: Meskipun kontroversial, UU ini mengatur kemudahan investasi di atas tanah negara, yang memengaruhi mekanisme alokasi tanah.


Regulasi ini menegaskan bahwa tanah negara adalah aset publik yang pengelolaannya harus transparan, akuntabel, dan berorientasi pada keadilan sosial.


Dampak Pemahaman Keliru terhadap Tanah Negara


Pemahaman yang salah tentang status tanah negara memiliki dampak signifikan, baik bagi masyarakat maupun tata kelola pemerintahan:


1.Ketimpangan Akses Tanah


Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2022, sekitar 70% tanah di Indonesia masih berstatus tanah negara. Namun, sebagian besar tanah ini dikuasai oleh korporasi melalui HGU, sementara petani kecil dan masyarakat adat sering kali tidak mendapatkan akses. Hal ini terjadi karena pemerintah kerap kali memprioritaskan investasi ketimbang reforma agraria.


2.Konflik Sosial


Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada tahun 2023 terdapat lebih dari 200 konflik agraria di Indonesia, sebagian besar melibatkan tanah negara. Banyak kasus berawal dari pemberian izin HGU kepada perusahaan tanpa konsultasi dengan masyarakat lokal, yang menganggap tanah tersebut sebagai bagian dari wilayah adat mereka.


3.Kerusakan Lingkungan


Tanah negara yang dialokasikan untuk proyek ekstraktif, seperti tambang atau perkebunan skala besar, sering kali menyebabkan deforestasi dan kerusakan ekosistem. Padahal, UUPA menekankan bahwa pengelolaan tanah harus memperhatikan kelestarian lingkungan.


Reformasi Tata Kelola Tanah Negara: Sebuah Ajakan Berpikir Kritis


Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, diperlukan reformasi tata kelola tanah negara yang berbasis pada prinsip keadilan, transparansi, dan partisipasi masyarakat. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi:


1.Pendaftaran Tanah yang Inklusif: Pemerintah harus mempercepat pendaftaran tanah negara, termasuk mengakui hak ulayat masyarakat adat melalui skema sertifikasi komunal.


2.Transparansi Alokasi Tanah: Setiap pemberian hak atas tanah negara, seperti HGU atau hak pakai, harus dilakukan secara terbuka dan melibatkan masyarakat lokal.


3.Penguatan Reforma Agraria: Program redistribusi tanah negara harus diprioritaskan untuk petani kecil dan masyarakat miskin, sesuai dengan amanat UUPA.


4.Pengawasan Publik: Masyarakat sipil dan akademisi perlu dilibatkan dalam mengawasi pengelolaan tanah negara untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.


Sebagai penutup, memahami bahwa tanah negara bukan milik pemerintah adalah langkah awal untuk menciptakan tata kelola tanah yang lebih adil dan berkelanjutan. Pemahaman ini bukan hanya soal hukum, tetapi juga tentang bagaimana kita menghormati hak rakyat atas tanah sebagai sumber kehidupan. Mari bersama-sama mendorong reformasi agraria yang benar-benar berpihak pada rakyat, bukan hanya pada kepentingan segelintir elite. 


SINGAPARNA KABUPATEN TASIKMALAYA(30/04/2025)


IWAN SINGADINATA.

(KONTRIBUTOR BERITA DAERAH)

#PUBLIK,#SOROTAN,#SETIAPORANG

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.