Lintaspasundan news com
SINGAPARNA KABUPATEN TASIKMALAYA.(06/02/2025). Acep Sutrisna, analis Politik Gatra, mengatakan bahwa Revisi Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR (Tatib DPR) yang memperkenalkan Pasal 228A menimbulkan kontroversi di ruang publik. Pasal ini mengatur tentang kewenangan evaluasi DPR terhadap penyelenggara negara yang diangkat melalui mekanisme politik di DPR, seperti hakim Mahkamah Konstitusi (MK), hakim agung, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), anggota Komisi Yudisial (KY), hingga Gubernur dan Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI).
Kontroversi tersebut berakar dari kekhawatiran bahwa revisi ini mengaburkan batas-batas prinsip check and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, serta membuka potensi intervensi politik yang melampaui kewenangan konstitusional DPR. Kajian ini bertujuan menganalisis aspek formil dan materiil dari revisi tersebut untuk menentukan kesesuaiannya dengan UUD 1945 dan prinsip dasar demokrasi konstitusional.
I. Permasalahan Hukum
1. Apakah revisi Tatib DPR, khususnya Pasal 228A, bertentangan dengan UUD 1945 secara formil dan materiil?
2. Apakah DPR memiliki kewenangan konstitusional untuk melakukan evaluasi yang bersifat mengikat terhadap pejabat negara di luar fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan UU?
3. Bagaimana implikasi konstitusional dari kewenangan evaluasi tersebut terhadap independensi lembaga-lembaga negara?
II. Analisis Formil
1. Kedudukan Peraturan Tata Tertib DPR dalam Hirarki Peraturan Perundang-undangan
Berdasarkan Pasal 22A UUD 1945 dan Pasal 1 angka 3 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), Peraturan Tata Tertib DPR adalah peraturan internal yang bersifat administratif untuk mengatur tata kerja internal DPR.
Peraturan ini bukanlah norma hukum substantif yang dapat mengatur atau memengaruhi kedudukan lembaga negara lain di luar DPR.
Pelanggaran Formil:
Revisi yang memperkenalkan kewenangan evaluasi terhadap pejabat negara jelas melampaui batasan ini. Secara formil, DPR tidak memiliki kewenangan membuat aturan internal yang mengikat pihak eksternal, apalagi mempengaruhi jabatan publik yang diatur oleh UU sektoral atau bahkan UUD 1945 itu sendiri. Hal ini bertentangan dengan prinsip lex superior derogat legi inferiori.
2. Ketidaksesuaian dengan Prinsip Pembentukan Peraturan
Prinsip “rechtsstaat” (negara hukum) mengharuskan setiap regulasi dibuat berdasarkan kewenangan yang jelas. DPR sebagai lembaga legislatif tidak berwenang membuat norma yang memiliki daya ikat terhadap lembaga lain kecuali diberi mandat konstitusi.
Revisi Tatib ini gagal memenuhi syarat ini, sehingga cacat secara formil.
III. Analisis Materiil
1. Bertentangan dengan Prinsip Kedaulatan Rakyat (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945)
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Prinsip ini mewajibkan setiap bentuk pelaksanaan kedaulatan tunduk pada UUD, bukan pada aturan internal lembaga seperti Tatib DPR. Norma Pasal 228A Tatib DPR secara substantif melanggar prinsip ini karena memberi DPR kewenangan yang tidak diatur dalam UUD.
2. Pelanggaran Terhadap Prinsip Pemisahan Kekuasaan (Separation of Powers)
Indonesia menganut prinsip separation of powers dengan sistem checks and balances. DPR memiliki tiga fungsi utama: legislasi, pengawasan, dan anggaran (Pasal 20A UUD 1945). Fungsi pengawasan DPR adalah terhadap pelaksanaan undang-undang, bukan kinerja personal pejabat negara.
Dengan memberikan DPR kewenangan untuk mengevaluasi pejabat yang diangkat melalui DPR, bahkan dengan sifat mengikat, revisi ini menciptakan asimetris kekuasaan yang berpotensi mengancam independensi lembaga-lembaga negara. Ini berisiko mengubah DPR dari lembaga pengawas menjadi entitas suprakonstitusional yang memiliki kontrol langsung atas lembaga lain, menggeser keseimbangan kekuasaan yang diatur dalam UUD 1945.
Bacajuga
https://www.lintaspasundan.com/2025/02/7-tujuhjenis-santet-mematikan-di-dunia.html
3. Potensi Konflik Kepentingan dan Penyalahgunaan Kewenangan
Evaluasi dengan sifat mengikat membuka peluang “political bargaining” dan “conflict of interest.”
Lembaga-lembaga seperti MA, MK, KPK, BI, dan KY memiliki mandat untuk menjalankan fungsi mereka secara independen. Memberi DPR kewenangan untuk mengevaluasi (dengan implikasi pemberhentian) pejabat di lembaga tersebut dapat digunakan sebagai alat politik untuk menciptakan ketergantungan dan intimidasi politik.
IV. Implikasi Konstitusional
Melemahkan Independensi Lembaga Negara: Revisi ini mengancam independensi lembaga yudikatif dan lembaga independen lainnya.
Membuka Ruang Transaksi Politik:
Potensi penyalahgunaan wewenang dalam bentuk negosiasi politik yang merugikan kepentingan publik.
Membahayakan Demokrasi Konstitusional:
Keseimbangan kekuasaan terdistorsi, mengarah pada parliamentary supremacy yang tidak sesuai dengan sistem presidensial Indonesia.
V. Kesimpulan
1. Revisi Tatib DPR No. 1 Tahun 2020, khususnya Pasal 228A, cacat secara formil karena melampaui batas kewenangan DPR dalam membuat peraturan internal yang hanya seharusnya mengatur urusan internal lembaga.
2. Secara materiil, norma tersebut bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 1 ayat (2) tentang kedaulatan rakyat, Pasal 20A tentang fungsi DPR, dan prinsip pemisahan kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
3. Implikasi konstitusionalnya berbahaya karena mengancam independensi lembaga negara, membuka ruang bagi transaksi politik, dan menggeser sistem checks and balances menuju dominasi DPR yang berlebihan.
VI. Rekomendasi
1. Judicial Review ke Mahkamah Agung: Meskipun Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk menguji peraturan internal DPR, peraturan ini dapat diuji ke Mahkamah Agung (MA) sebagai bagian dari pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
2. Desakan Politik dan Publik:
Mendorong partisipasi masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga-lembaga demokrasi untuk mengadvokasi pembatalan norma ini demi menjaga prinsip demokrasi konstitusional.
3. Revisi Internal DPR: Mendorong DPR untuk merevisi kembali Tatib tersebut agar selaras dengan prinsip-prinsip UUD 1945 dan menghindari penyalahgunaan kewenangan.
IWAN SINGADINATA.
(KONTRIBUTOR BERITA DAERAH)
@ DPR-RI,@ DPR PROVINSI,@ DPRD,@ PUBLIK