Lintaspasundan news
SINGAPARNA KABUPATEN TASIKMALAYA.(19/10/2025) - Gedung megah berdiri menjulang di sudut kawasan pendidikan itu. Dari kejauhan, fasadnya memantulkan cahaya matahari sore, mencerminkan kemewahan yang jarang ditemui di perguruan tinggi kecil. Namun, di balik keindahan arsitektur tersebut, muncul tanda tanya besar: bagaimana mungkin sebuah kampus dengan hanya sekitar 80 mahasiswa bisa menerima hibah sebesar Rp45 miliar?
Itulah pertanyaan yang kini bergema di media sosial dan forum publik, menyasar Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ar’ruzhan — lembaga pendidikan keagamaan yang baru-baru ini menjadi sorotan karena besarnya dana hibah yang diterima dari pemerintah daerah.
Ketimpangan yang Mengundang Tanya
Berdasarkan data yang beredar di sejumlah kanal publik, jumlah mahasiswa aktif STAI Ar’ruzhan diperkirakan hanya sekitar 80 orang. Namun, angka itu berbanding terbalik dengan besaran hibah yang mencapai Rp45 miliar — jumlah yang lazimnya diberikan kepada institusi dengan ribuan mahasiswa atau program pengabdian masyarakat berskala nasional.
Bagi kampus kecil dengan jumlah mahasiswa di bawah seratus, hibah puluhan miliar terasa sangat tidak wajar,” ujar seorang pengamat pendidikan tinggi yang enggan disebut namanya. “Apalagi jika belum ada rekam jejak penelitian atau kontribusi signifikan terhadap masyarakat luas.
Publik pun mulai bersuara. Di berbagai platform media sosial, warganet mempertanyakan dasar pemberian hibah tersebut. Beberapa menyebutnya sebagai contoh nyata ketimpangan dalam distribusi dana publik, sementara yang lain menilai perlu adanya audit independen untuk memastikan tidak terjadi penyimpangan.
Kemegahan Gedung yang Mencolok.
Gedung baru STAI Ar’ruzhan dikabarkan berdiri di atas lahan yang cukup luas, dengan desain arsitektur modern dan fasilitas lengkap — mulai dari ruang kuliah berpendingin udara hingga aula serbaguna berkapasitas besar.
Seorang warga sekitar yang enggan disebutkan namanya mengaku terkejut dengan cepatnya pembangunan tersebut.
“Dulu di sini masih kosong, tiba-tiba sudah berdiri bangunan megah. Kami kira itu kampus besar dari Jakarta,” ujarnya. “Tapi ternyata mahasiswanya sedikit sekali.”
Fasilitas mewah bukanlah hal yang salah. Namun, dalam konteks hibah publik, kemegahan fisik sering kali menjadi simbol ketidakseimbangan prioritas jika tidak diiringi dengan peningkatan kualitas akademik atau kontribusi sosial.
Pertanyaan soal Transparansi dan Prosedur
Dalam mekanisme penganggaran pemerintah, hibah untuk lembaga pendidikan seharusnya melewati tahapan yang ketat: verifikasi, evaluasi kelayakan, serta penilaian manfaat sosial. Namun, hingga kini belum jelas bagaimana STAI Ar’ruzhan bisa memperoleh alokasi sebesar itu.
Transparansi adalah kunci, tegas Yulian Syahputra, pakar kebijakan publik dari salah satu universitas negeri.
*(Publik berhak tahu dasar penilaian hibah, indikator kelayakan, serta penggunaan dananya. Apabila semua sudah sesuai prosedur, maka tidak ada masalah. Tapi jika tidak jelas, wajar publik merasa curiga.)
Beberapa lembaga masyarakat sipil bahkan mulai mendorong agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Inspektorat Daerah melakukan audit mendalam terhadap penyaluran hibah tersebut.
Tanggung Jawab dan Kepercayaan Publik
Bacajuga
https://www.lintaspasundan.com/2025/10/menjelang-hari-santri-tanggal-22102025.html
Dana hibah adalah uang publik. Artinya, setiap rupiah yang keluar dari anggaran daerah harus memiliki tujuan yang jelas dan manfaat nyata bagi masyarakat. Dalam konteks pendidikan, hibah semestinya diarahkan untuk meningkatkan mutu belajar, penelitian, dan pemberdayaan masyarakat, bukan sekadar memperindah bangunan.
Apabila alokasi hibah sebesar Rp45 miliar hanya berujung pada pembangunan fisik yang tak sebanding dengan manfaatnya, maka potensi pelanggaran etika pengelolaan keuangan publik menjadi besar.
“Bukan hanya soal legalitas, tapi juga soal moralitas,” kata Yulian. “Institusi pendidikan seharusnya menjadi teladan dalam integritas dan akuntabilitas.”.
Publik menanti penjelasan: apakah dana Rp45 miliar itu benar-benar digunakan sesuai prosedur dan tujuan yang bermanfaat, atau justru menyimpan cerita lain di balik tembok megah kampus tersebut.
Akhirnya, Pertanyaan Terbesar: Siapa yang Bertanggung Jawab?
Kasus STAI Ar’ruzhan menjadi cermin persoalan klasik dalam tata kelola hibah di Indonesia: minim transparansi, lemahnya pengawasan, dan kaburnya prioritas penggunaan dana publik.
Selama hal-hal semacam ini tidak dibuka ke publik, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan dan pemerintah daerah akan terus tergerus.
Kemegahan gedung memang bisa menipu pandangan mata — tapi kebenaran tidak bisa disembunyikan di balik tembok beton. Dan seperti banyak kasus sebelumnya, cepat atau lambat, topeng kemewahan dan jubahmu akan terbuka juga.
IWAN SINGADINATA.
(KONTRIBUTOR BERITA DAERAH)
#GUBERNURJAWABARAT,#KANGDEDIMULYADI,#KOMISIPEMBERANTASANKORUPSI,#KEJAKSAANAGUNG,#KEJATIJAWABARAT,#INSPEKTORATJAWABARAT,#YAYASANARUZHAN,#INDONESIANTOPOFTHEWORLD,#PUBLIK,#SORITANTAJAM,#FYPVIRAL,#BERITAPOPULERTAHUN2025
