Pemimpin Daerah Memiliki Otak Kebencian - Hilangnya Nilai & Kemerosotan Etika Kepemimpinan "


Luntaspasundan new

SINGAPARNA KABUPATEN TASIKMALAYA.(06/11/2025). - Jika seorang pemimpin daerah (bupati, wali kota) menyimpan kebencian atau dendam politik kepada pihak atau kelompok yang tidak mendukungnya dalam Pilkada, maka dampaknya bisa serius. 


Ada Beberapa kemungkinan yang sering terjadi:


a. Penyalahgunaan Kekuasaan

- Pemimpin tersebut bisa:

- Menyingkirkan pejabat atau ASN yang dianggap “tidak loyal”.

- Menghambat bantuan, proyek, atau izin kepada wilayah atau kelompok tertentu.


- Menggunakan kebijakan daerah untuk “membalas” secara halus.


Pemimpin semacam Ini, melanggar azas netralitas dan prinsip keadilan dalam pemerintahan.


b. Polarisasi Sosial dan Politik

Ketika pemimpin membawa dendam ke dalam kebijakan publik, masyarakat bisa terbelah — antara pendukung dan oposisi.


Hal ini juga akan menimbulkan:

- Ketegangan sosial.

- Hilangnya kepercayaan terhadap pemerintah daerah.

- Lemahnya partisipasi publik.


Bilamana hal ini terus-menerus dilakukan secara perlahan, masyarakat mulai sadar bahwa kekuasaan tanpa integritas hanyalah kedok bagi kebencian. Akhirnya, rakyat yang dulu terpecah mulai bersatu kembali, dan sang pemimpin daerah terpaksa menghadapi kenyataan bahwa dendam tidak bisa membangun masa depan.


Pandangan Ahli dari Dalam Negeri


1. Prof. Dr. Syamsuddin Haris (LIPI/BRIN)


Masalah utama politik lokal di Indonesia adalah masih kuatnya patron-client system dan politik balas budi. Ketika kepala daerah terpilih, sering kali ia merasa berhak ‘menghukum’ pihak yang tidak mendukungnya. Padahal, setelah dilantik, ia seharusnya menjadi milik seluruh rakyat, bukan hanya pendukungnya.


Maknanya:

Pemimpin daerah yang masih membawa dendam politik menyalahi prinsip good governance dan bisa menciptakan diskriminasi kebijakan.


2. Prof. Dr. Miriam Budiardjo (Ilmuwan Politik UI)


Demokrasi bukan hanya soal menang atau kalah dalam pemilu, tetapi kemampuan menerima perbedaan dan menjaga kesejahteraan bersama.


Artinya:

Ketika pemimpin tidak mampu bersikap inklusif pasca-Pilkada, maka demokrasi lokal berubah menjadi alat kekuasaan, bukan alat pelayanan publik.


3. Dr. Burhanuddin Muhtadi (Peneliti LSI & Dosen UIN Jakarta)


Setelah Pilkada, kepala daerah sering menggunakan birokrasi untuk memperkuat loyalitas politik. ASN yang dianggap tak mendukung biasanya dimutasi atau tidak diberi jabatan strategis.”


Dampak nyata:

Terjadi politik pembalasan (retaliatory politics) yang merusak profesionalisme birokrasi daerah.


Pandangan Ahli dari Luar Negeri


1. Francis Fukuyama (Ilmuwan Politik – Stanford University)


Institusi politik yang kuat hanya bisa berdiri di atas fondasi kepercayaan publik. Jika pemimpin menggunakan kekuasaan untuk membalas dendam politik, maka kepercayaan itu hancur — dan negara jatuh dalam siklus patronase.”

Bacajuga

https://www.targetinfonews.com/2025/11/pergantian-kepala-dinashubkominfo_4.html

Relevansi di Indonesia:

Ketika pemimpin daerah bertindak berdasarkan emosi, ia melemahkan institusi dan memperkuat budaya balas dendam.


2. Robert Dahl (Yale University, Teori Poliarcki)


Dalam demokrasi yang sehat, semua warga — baik yang mendukung maupun menentang pemerintah — memiliki hak yang sama untuk diakomodasi dalam kebijakan publik.”


Implikasinya:

Pemimpin yang hanya berpihak pada kelompok tertentu melanggar prinsip dasar demokrasi (inclusiveness).


3. Larry Diamond (Stanford University)


Pemimpin yang mendendam setelah pemilu adalah ancaman bagi konsolidasi demokrasi. Ia mengubah proses elektoral menjadi sekadar perebutan kekuasaan, bukan sarana pelayanan publik.


(Kebencian pasca-pemilu bukan hanya masalah etika pribadi, tapi juga ancaman sistemik terhadap stabilitas politik lokal).


Kesimpulan Umum Para Ahli


Aspek Dampak Kebencian Politik


Etika Kepemimpinan Hilangnya nilai kenegarawanan dan objektivitas

Birokrasi Daerah ASN tidak netral, loyalitas bergeser ke politik


Pelayanan Publik Terjadi diskriminasi kebijakan

Kehidupan Sosial Polarisasi dan konflik horizontal

Demokrasi Lokal Melemah, karena pemilu jadi ajang balas dendam.


Pemimpin sudah sepantasnya harus bersikap adil, jujur dan tidak bertindak semena-mena. Allah SWT telah memperingatkan kepada para pemimpin untuk tidak berbuat zalim . Perintah tersebut termaktub dalam Surah Asy Syura ayat ke-42,


 اِنَّمَا السَّبِيۡلُ عَلَى الَّذِيۡنَ يَظۡلِمُوۡنَ النَّاسَ وَ يَبۡغُوۡنَ فِى الۡاَرۡضِ بِغَيۡرِ الۡحَقِّ‌ؕ اُولٰٓٮِٕكَ لَهُمۡ عَذَابٌ اَلِيۡمٌ


Artinya: Sesungguhnya kesalahan hanya ada pada orang-orang yang berbuat zhalim kepada manusia dan melampaui batas di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran. Mereka itu mendapat siksa yang pedih. Rasulullah SAW mengatakan, setiap orang adalah pemimpin dan mereka akan bertanggung jawab atas kepemimpinannya itu. Dalam hadis lain, disebutkan, “Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum Muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya, dan kemiskinannya.” (Diriwayatkan dari Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Maryam).


Sumber dari pustaka pribadi.



IWAN SINGADINATA.

(KONTRIBUTOR BERITA DAERAH)

#KABUPATENTASIKMALAYA

#PEMKABTASIKMALAYA

#KETUADPRDTASIKMALAYA,#BUPATITASIKMALAYA,#WAKILBUPATITASIKMALAYA,#ASNKABUPATENTASIKMALAYA,#KOMINFOKABUPATENTASIKMALAYA,#BERITAPOPULERTAHUN2025,#PUBLIK,#SOROTANTAJAM,#FYPVIRAL,#INDONESIANTOPOFTHEWORLD

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.